KEMBALI KE UUD 1945, SEBUAH PILIHAN AKAL SEHAT, DAN LEBIH MENGHARGAI DAN MENGHORMATI PARA PENDIRI BANGSA & NEGARA
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa UUD hasil AMANDEMEN adalah palsu. Juga tidak kalah banyaknya mereka yang melontarkan ide dan gagasan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli.
Gagasan ini dilatarbelakangi oleh fakta kehidupan sosial politik dan ekonomi yang menguntungkan para penguasa dan para pemilik modal, antara lain melalui UU MINERBA dan UU CIPTA KERJA, nama lain dari OMNIBUS LAW. Diperparah lagi dengan keterbelahan masyarakat yang semakin meluas, dan membanjirnya TKA dari Tiongkok. .
Sedangkan kaum pribumi yg mayoritas umat islam semakin terpinggirkan, baik secara ekonomi maupun politik. Tidak jarang umat Islam jadi sasaran stigmatisasi yang tiada ujung akhirnya. Antara lain, dengan label radikal, anti kebhinekaan, intoleran, teroris dan anti NKRI.
Pada hal sesungguhnya yang intoleran dan anti NKRI itu adalah minoritas yang ingin mengangkangi kekayaan negeri ini secara ekstrem.
Betapa tidak, 1% penduduk Indonesia menguasai sekitar 45 -59 % kekayaan Nasional ( Chusnul Mar'iyah, Phd, dosen FISIP UI dan Siti Khairun Ni'mah ).
Dari fakta-fakta ini, betapa ekstremnya kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Belum ditambah lagi dengan 72 % tanah produktif di Indonesia juga dikuasai oleh 1% penduduk Indonesia.
Wahai para penyelenggara negara. Dan para pemilik partai di negeri ini. Apakah kalian merasa tidak berdosa, bahwa amandemen UUD 1945, pada hakikatnya telah mengkhianati perjuangan para pendiri negara. Dan mengkhianati para pejuang kemerdekaan.
Para pendiri negara telah bersusah payah tanpa upah, kadang bersimbah darah, mulai pagi, siang dan malam. Kadang juga nggak tidur. Merumuskan ketentuan pasal yang sangat historis dan monumental, untuk memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan negara Indonesia ke depan.
Salah satunya ketika mereka merumuskan pasal yang menyangkut ekonomi dan kesejahteraan rakyat, para pendiri negara sangat hati-hati, cermat dan arif dalam merumuskan ketentuan pasal 33 UUD 1945.
Dalam pasal 33 UUD 1945 sebelum amandemen hanya terdiri dari 3 ayat, yang pada intinya menekankan adanya prinsip kebersamaan dan kekeluargaan. Bumi dan air, termasuk seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai HAJAT HIDUP ORANG BANYAK di KUASAI oleh NEGARA, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Tapi faktanya setelah adanya UUD hasil amandemen, kekayaam sumber daya alam, seluruhnya nyaris dikuasai oleh sekitar 1% penduduk Indonesia. Karena setelah amandemen UUD, berdasarkan pasal 33 ayat 4, sistem perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas dasar demokrasi ekonomi. Jadi titik tekannya pada aspek demokrasi, yang cenderung LIBERAL dan KAPITALISTIK.
Perekonomian nasional seharusnya dibangun atas dasar kebersamaan, yang bersinergi dengan asas kekeluargaan. Pemerintah musti berpegang teguh pada ketentuan pasal 33 ayat 2 dan 3.
Jikalau menyimpang dari prinsip-prinsip yang telah ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 UNDANG UNDANG DASAR tahun 1945, maka yang kaya ( para konglotaipan ) akan semakin mencengkeram yang lemah, yang sebagian besar adalah umat islam dan kaum pribumi. Terutama kalangan kaum buruh, tani, nelayan dan UMKM.
Pertanyaannya , dengan cara apa 1% penduduk Indonesia bisa menguasai aset nasional secara ekstrem sebagaimana tersebut di atas? Kaitannya dengan ini, penulis sependapat dengan KPK, Ketua MPR-RI, para peneliti, pengamat dan para akademisi, bahwa demokrasi kita sudah terlalu banyak digelontor dengan limbah uang haram, yang berasal dari para cukong kekuasaan yang ingin mempercepat NKRI di bawah cengkerannya. Memang ueenak sekali, jadi orang kaya, kacungnya ada di mana-mana.
Berdasarkan fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, apakah mereka masih layak teriak-teriak " gue Pancasila, gue Indonesia, dan ente anti NKRI, ente anti Pancasila, ente anti toleransi, dan ente anti kebhinekaan, dst. Apakah mereka nggak sadar atau pura- pura lupa, bahwa 1% penduduk Indonesia yang nyaris menguasai seluruh kekayaan negeri ini tidak terlepas dari peran para KACUNG yang telah memperkosa nilai-nilai Pancasila, khususnya sila 2, 3 dan 5 .
Kepada mereka inilah yg semestinya dilabeli intoleran, karena super serakah di negeri ini. Untuk itu, jangan terkejut kalau berbagai kalangan dengan nyaring menyuarakan gagasan kembali ke UUD 1945 yang asli, sebagai pilihan akal sehat.
Memang ada juga yang berpendapat bahwa UUD 1945 yang sekarang ini palsu, tetapi saya berpendapat bahwa UNDANG UNDANG DASAR hasil amandemen tersebut adalah sah, resmi dan tidak palsu. Karena UUD amandemen tersebut lahir dari sebuah keputusan politik hasil PEMILU 1999 yang relatif lebih baik dari periode-periode sebelumnya, kecuali PEMILU pertama tahun 1955.
Menurut pendapat saya, UNDANG UNDANG DASAR hasil amandemen yang sekarang ini masih berlaku adalah CACAT HUKUM.
Dikatakan CACAT HUKUM, karena sesungguhnya UUD hasil amandemen hanya terdiri dari 15 BAB. Kenapa musti ditulis terdiri dari 16 BAB. Pada hal, BAB IV tentang DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG ( DPA ) sudah dihapuskan. Praktis sudah tidak ada BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung ( DPA ).
Eksistensi BAB IV, yang masih tertera dalam UUD hasil amandenen tersebut menjadi hampa tanpa makna, alias bodong dan super lucu. Karena ada BAB IV tanpa pasal dan sudah dihapus, tetapi tetap menjadi BAB tersendiri. Harusnya tidak ada.
Kemudian BAB V harusnya menjadi BAB IV, BAB VI menjadi BAB V dan seterusnya. Sehingga UUD hasil amandemen hanya terdiri dari 15 BAB bukan 16 BAB.
Karena CACAT HUKUM, maka UUD hasil amandemen bisa BATAL DEMI HUKUM, atau DAPAT DIBATALKAN. Batal demi hukum, artinya UUD amandemen tersebut dianggap tidak pernah ada. Sedangkan kalau dapat dibatalkan, maka UUD amandemen tersebut batal setelah ada tindakan hukum/politik yang berupa pembatalan terhadap UNDANG UNDANG DASAR hasil amandemen tersebut.
Sebagai punokawan politik, saya setuju dan sepakat untuk dibatalkan dan kembali ke UUD 1945 yang asli. Yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, dan yang telah diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden tgl.5 Juli 1959.
Dengan pertimbangan, secara hukum dan politis lebih praktis. Lebih simple, efisien, dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Tidak liberal dan tidak kapitalistik. Lebih spesial lagi, menghargai dan menghormati perjuangan para pendiri bangsa dan negara ini.
Selanjutnya, mengenai persoalan yang belum diatur secara detail dalam UUD 1945 yang asli, bisa dituangkan dalam bentuk undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran dari UUD, melalui mekanisme konstitusi yang telah disepakati, sesuai dengan tantangan dan kebutuhan.
Dengan demikian dapat menghemat biaya politik yang sekarang ini terus melambung serta cenderung transaksional. Jual beli hak suara rakyat bisa ditekan. Virus amplop atau barter uang dan kekuasaan politik bisa dicegah, setidaknya bisa ditekan seminimal mungkin.
Kalau terus bertahan seperti sekarang ini, pintu semakin terbuka lebar bagi para CUKONG pemilik kapital yang ingin berburu menanamkan investasi kepada para politisi dan penguasa partai.
Karena berdasarkan penelitian berbagai NGO dan juga dari berbagai hasil tangkapan KPK, tidak sedikit pejabat kita yang punya talenta dan gemar menjadi KACUNG piaraan.
Sebaliknya juga banyak para cukong yang gemar dan hoby memelihara KACUNG, guna mempermudah modus operandi perampokan terhadap aset-aset IBU PERTIWI yang terkenal gemah ripah loh jinawi, kaya hutan dan tambang.
Tapi semuanya terpulang kepada rakyat dan wakil rakyat, kalau masih percaya.
INDONESIA RAYA, 24 NOPEMBER 2020.
Pengamat & Punokawan Politik ITB-Per.
Komentar
Posting Komentar